Jakarta – Green Energy (Energi Hijau) dan bisnis berkelanjutan menjadi fokus utama berbgai pihak sebagai upaya mendorong capaian Net Zero Emission Indonesia 2060. PT Pertamina Patra Niaga juga terus mencoba berperan aktif, terus berinovasi, dan meluncurkan produk serta layanan yang ramah lingkungan kepada konsumennya. Namun, pengembangan produk tidak bisa maksimal jika kita tidak memahami pola piker konsumen terhadap green energy ini sendiri.

VP Marketing Strategy PT Pertamina Patra Niaga, Indra Edi Santoso mengatakan sebagai Perusahaan yang memiliki tugas jualan, pemahaman konsumen terkait green energy menjadi penting. Karena inilah Pertamina Patra Niaga menggelar sehingga Marketing Forum “Understanding Consumer Mindset in Green Energy Marketing”, pada Selasa (30/4).

“Marketing Forum Webinar ini diharapkan mampu meningkatkan wawasan perwira dalam membuat strategi dan pengambilan keputusan terkait green energy kedepan, karena dalam forum ini kami sengaja mengundang narasumber yang kompeten dalam hal ini sehingga para perwira bisa belajar serta mendapat wawasan baru di era green energy ini,” sebut Indra.

Salah satu narasumber yang hadir dalam Webinar kali ini, adalah Praktisi Komunikasi, Wahyu Wiwoho, yang menyampaikan materinya terkait Decarbonization Communication Strategy. Menurut Wahyu, untuk meningkatkan literasi dan pemahaman masyarakat terkait Green Energy serta dekarbonisasi, perlu membangun komunikasi dan engagement-nya dengan konsumen melalui bahasa-bahasa yang mudah dimengerti.

“Bahasan dekarbonisasi ini terlalu elitis, tidak semua mudah dimengerti, jadi tugasnya bagaimana agar bisa membumi dan lebih dipahami masyarakat di semua lapisan. Maka, diperlukan komunikasi yang lebih mudah diterima dan ditangkap, Communicate with customer’s language, not yours, gunakan bahasa-bahasa yang menciptakan emotional connection ke masyarakat,” jelas Wahyu.

Setidaknya terdapat 3 solusi yang bisa dilakukan dalam membangun komunikasi terkait Green Energy ke masyarakat atau konsumen. Pertama, membuat Green Marketing Campaign, kedua, gunakan Bahasa yang sesuai dengan target konsumennya dari berbagai lapisan, dan terakhir gunakan sosial media untuk berkomunikasi karena mayoritas masyarakat Indonesia adalah millennials dan Gen Z.

“Enhancing emotional connection dan juga melakukan engagement di media sosial itu akan mempunyai dampak yang sangat baik pada keterlibatan emosi konsumen, khususnya bagi kelompok muda”, pungkas Wahyu.

Dalam kesempatan yang sama, Head of Fleet Management PT Wuling Motors Indonesia, Aditya Triananto, di era transisi energi ini awalnya masih banyak kekhawatiran konsumen terkait kendaraan Listrik. Kekhawatiran tersebut diantaranya terkait jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) yang masih terbatas, harga yang masih cukup mahal, jarak tempuh terbatas, hingga baterai, dan maintenance cost yang tinggi. Namun perlahan, pemikiran ini mulai berubah.

“Perubahan ini berawal dari pengalaman konsumen mobil listrik, Dimana sebagian besar pengguna merasakan kemudahan mengisi daya di rumah dan banyak SPKLU tersedia di kota-kota besar. Banyak pengguna yang menggunakan mobil listriknya ke luar kota dan biaya operasional kendaraan listrik lebih terjangkau dibandingkan mobil ICE (Internal Combustion Engine) hingga 1:10”, sebut Aditya.

Ia menambahkan, meskipun persepsi konsumen dari berbagai generasi (X, Y dan Z) mayoritas menyebut tetap memilih kendaraan ICE, namun dengan tren biaya bahan bakar yang digantikan dengan daya listrik yang lebih terjangkau, maka penyerapan mobil listrik kedepannya akan terus bertumbuh.

“Jika operational cost jauh berkurang, maka mereka akan mulai beralih ke kendaraan Hybrid dan Electric Vehicle. Yang pasti teknologi akan semakin berkembang, utamanya terkait baterai mobil listrik, sehingga membuat harga mobil listrik kedepannya pasti semakin kompetitif. Perubahan mindset konsumen ini harus terus diperhatikan jika ingin mengambil momentum di zaman green energy,” tukas Aditya.